Kakekku menderita restless leg syndrome (sindrom kaki
gelisah à
WTF?!). Paling tidak itulah yang ia bilang padaku selama beberapa tahun ini. Ia
jarang tidur nyenyak malam hari. Kakinya sakit sekali dan ia terus bangun dan
berjalan-jalan untuk mengatasi rasa sakitnya.
Nenekku bilang, kondisi kakekku sudah begini sejak ia
kembali dari perang. Pada hari ia kembali, nenekku menjemputnya di stasiun. Kakekku
berjalan pincang saat turun dari kereta dan terjatuh ke pelukan nenekku. Nenekku
bilang, kakekku selalu menolak untuk menggunakan tongkat, bagaimanapun sulitnya
ia berjalan.
Pada suatu malam gelap dan hujan, kakek tertatih-tatih turun
ke koridor, menuju kamarnya. Aku berjalan di belakangnya untuk menjaganya agar
ia tidak jatuh. Tiba-tiba, ada petir. Saat itulah aku pertama kali melihatnya. Sepertinya
aku melihat sesosok bayangan yang bercokol di kaki kakekku.
“Apa itu?” tanyaku waspada.
Ketika ia sampai ke kamarnya dan menyalakan lampu, aku tidak
melihat apa-apa disana.
“Apa yang ada di kaki kakek?” tanyaku lagi. “Sepertinya aku
melihat sesuatu… Cuma beberapa detik…. Sesuatu yang aneh… itu apa?”
“Sepertinya sudah waktunya aku memberitahumu,” kata kakekku
sambil berbaring di ranjangnya. “Ini bukan Restless leg syndrome. Hal ini
terjadi selama perang. Pada tahun 1942, aku ditempatkan di New Guinea (papua
nugini?). Aku melihat hal-hal mengerikan… hal-hal yang buruk sekali… hal-hal
yang dapat membuatmu mual. Hampir semua orang yang ikut perang mencoba
melupakannya… Kau harus mencoba membuang memori itu dari pikiranmu. Kau mencoba
untuk tidak memikirkannya. Aku sudah mencoba melupakannya, tetapi tidak bisa. Bahkan
hanya seharipun tidak bisa. Aku terkutuk, kau lihat … kutukan yang harus
kutanggung seumur hidupku sebagai sebuah pengingat.”
“Kami mendarat di Papua Nugini, kami semua masih baru dan
tidak berpengalaman. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi. Kami membangun
kemah di selatan pulau dan orang-orang lokal, orang-orang Papua, membantu kami
mengurusi perbekalan. Ada seorang anak kecil yang sering bermain di kemah kami.
Ia mungkin berumur 5 atau 6 tahun. Aku bahkan tidak ingat namanya.”
“Bahasa inggris yang ia tahu hanya Yes dan No. sepertinya ia
kagum dengan para prajurit dan seragamnya. Ia akan berlari untuk mengajak para
prajurit untuk bermain dengannya. Dengan adanya tentara Jepang di tanah Papua,
hal itu sangat berbahaya baginya, sehingga kami selalu menakutinya. Tidak peduli
apapun yang kami lakukan, anak kecil itu selalu kembali lagi.”
“Suatu hari, tentara Jepang menyerang kami. Kami kalah
jumlah dan mereka sudah dekat dengan posisi kami. Aku bangun karena suara
teriakan dan jeritan diluar tendaku. Pada saat itu kacau sekali. Suara tembakan
terdengar dimana-mana. Saat itu terjadi pertempuran jarak dekat. Aku ketakutan.
Aku bangun dari barakku, mengambil senjata dan bergegas keluar untuk bertempur.”
“Di kegelapan, aku merasakan ada sesuatu yang melilit di
kakiku. Aku tidak tahu itu apa. Yang kutahu hanyalah aku harus berada di
posisiku secepatnya. Teman-temanku membutuhkanku. Apapun itu, ia terus
berpegangan pada kakiku. Aku hampir tidak bisa menggerakkan kakiku. Saat itu
gelap gulita dan aku sangat ingin melepaskan genggamannya. Aku memukulkan
bagian belakang senapanku ke bawah untuk melepaskan genggamannya.”
“Tiba-tiba, ada kilat dan menyinari tenda sekejap. Aku melihat
kebawah dan aku melihat matanya ketakutan melihat ke arahku. Wajahku pucat. Aku
telah memukul kepalanya. Karena ketakutan, anak Papua kecil itu berlari ke
tendaku dan memeluk kakiku. Aku melihat matanya perlahan berputar ke belakan
ketika ia menghembuskan napas terakhirnya… tetapi ia tidak melepaskannya. Ia tidak
pernah melepaskannya… ia tidak akan melepaskannya….”
Retold and translated by : Sella Chang
Source : scaryforkids.com
0 comments:
Post a Comment