Sejak aku lahir,
saudara kembarku Tommy adalah sahabatku. Kami tidak memiliki hidup yang mudah. Kakak
perempuan kami bunuh diri beberapa tahun lalu dan kakak laki-laki kami sedang
dalam kondisi yang parah yang disebut “Xeroderma pigmentosum” yang berarti ia
alergi terhadap matahari. Ketika ia berusia 10 tahun, Tommy mengalami Alopecia
dan kehilangan seluruh rambutnya. Semua orang di sekolah mengejeknya, tetapi ia
tidak peduli. Itulah hebatnya Tommy. Ia selalu tersenyum.
Kemudian suatu hari,
ketika kami 14 tahun, sesuatu yang buruk terjadi. Kami sedang dalam kelas seni
kayu untuk membuat mainan anak-anak. Tommy mengantri untuk menggunakan alat penggiling
kayu. Ia baru saja mengiling sebongkah kayu ketika seseorang mendorongnya dari
belakang. Ia kehilangan keseimbangannya dan jatuh ke dalam penggiling kayu yang
masih menyala. Terdengar suara gilingan dan teriakan kesakitan yang mengerikan.
Semuanya memalingkan pandangan. Banyak dari mereka yang menutup matanya, tidak
ingin melihat pemandangan mengerikan tersebut. Siapa yang menyalahkan mereka?
Wajah saudara kembarku
hancur. Ada banyak darah. Ambulans datang dan ia dilarikan ke rumah sakit. Tommy
bertahan hidup, tetapi wajahnya tidak seperti dulu. Ia tidak punya hidung dan
mulut. Kelopak matanya juga hilang. Ibu kami bahkan tidak tahan melihatnya. Ayah
kami menyuruhnya untuk memakai kantong kertas di kepalanya ketika ia di rumah.
Ejekan malah semakin
parah. Anak-anak di sekolah lebih kejam dan tidak punya hati. Mereka menunjuknya,
menertawakannya dan memanggilnya dengan nama mengerikan. Mereka tidak punya
belas kasihan, tetapi ia masih tersenyum. Bagaimanapun aku tahu bahwa senyumnya
hanya topeng. Di dalam hatinya, aku tahu ia menahan kepedihan.
Hampir satu tahun
berlalu ketika serangan dimulai. Serangan itu masuk halaman depan koran dan
kota kami diselimuti ketakutan. Seorang remaja laki-laki dimutilasi ketika ia
tidur di ranjangnya. Lukanya sangat parah sehingga ia masuk ke ICU. Aku melihat
foto yang diterbitkan di koran. Foto sebelumnya menunjukkan ia tersenyum
melihat kamera dan menggunakan baju seragamnya. Foto sesudahnya membuatku mual.
Hidungnya dipotong, satu matanya dicungkil, bibirnya dipotong dan senyum
mengerikan terukir di wajahnya.
Aku mengenalnya dari
fotonya. Dia adalah anak yang mendorong saudaraku ke penggiling kayu.
“Kau sudah melihat
ini?” aku bertanya, menunjuk cerita di koran.
Tommy hanya
mengangguk. “Ya,” ia berkata dengan mengangkat bahu. “Sebuah tragedi…”
Beberapa hari
kemudian, koran melaporkan kejadian itu terulang kembali. Orang lain ditemukan
dimutilasi di tempat tidurnya. Kali ini adalah seorang siswi di sekolah. Kulitnya
dikelupas dari seluruh wajahnya. Ia kelihatan seperti bongkahan daging mentah
dengan mata.
Hal itu terus terjadi
lagi dan lagi. Setiap beberapa hari, anak yang kami kenal pasti di sserang
dalam tidurnya dan dimutilasi. Beberapa anak matanya dicungkil, beberapa diukir
senyuman sampai pipinya, beberapa dari
mereka hidungnya di potong dan yang lain diukir kata-kata yang jahat di
keningnya. Polisi berkata satu-satunya hubungan dari mereka adalah seluruh
korban berasal dari sekolah yang sama.
Jika mereka
menanyakanku, aku mungkin bisa menunjukkan hubungan yang lain. Mereka semua
adalah anak-anak yang membully saudaraku.
Ibuku ketakutan dengan
apa yang ia baca di koran. Ia berkata bahwa ada maniak yang kabur dan meminta
kami untuk berhati-hati. Tommy hanya melihatnya dengan pandangan jahat dan
berkata, “Jangan khawatir. Kami akan baik-baik saja.”
Nada bicaranya berbeda,
sepertinya ia tahu sesuatu yang kami tidak tahu.
Pada malam yang sama,
aku sedang berbaring di tempat tidurku, aku bangun ketika mendengar suara pintu
terbuka. Aku menyelinap dan melangkah pelan-pelan ke koridor. Di bawh tangga
berdirilah Tommy. Ia masih memakai piyama, tetapi di tangan kanannya, ia sedang
menggenggam pisau yang berlumuran darah.
“Kau habis dari mana?”
tanyaku.
Ketika ia mendengar
suaraku, ia melihat ke atas dengan kaget. Kemudian wajahnya berubah menjadi
seringai lebar.
“Tidak kemana-mana,”
jawabnya. “Aku hanya berjalan-jalan.”
Aku tidak
mempercayainya seketika. Aku tahu apa yang ia lakukan. Aku berlari ke kamar
orangtuaku, berteriak untuk membangunkan mereka.
“Tommy menyelinap
keluar malam-malam!” teriakku. “Ia bawa pisau. Pisaunya berlumuran darah.”
Ayahku mendorongku dan
turun. Ia mengambil pisau yang berlumuran darah dari tangan Tommy dan
melemparnya ke seberang ruangan. Tommy memberontak dan ayahku harus bergulat
dengannya. Ia berontak dan berteriak seperti sesuatu datang dari kubur. Ibuku kemudian
menelpon polisi dan mereka menahan Tommy.
Polisi mengumpulkan
barang bukti. Mereka menangani kasus berat Tommy, tetapi kemudian ketika ia di penjara,
ia mengakui semuanya ke psikiater. Orangtuaku kecewa dan putus asa. Mereka tidak
mengerti bagaimana anak mereka melalukan hal seperti itu. Akhirnya ketahuan
bahwa Tommy menjadi tidak waras karena emosi dan perlakuan dari anak-anak yang
mengejeknya. Ia masuk ke rumah mereka pada malam hari dan menghancurkan wajah
mereka.
“Aku melakukannya
supaya hidup mereka hancur, sama seperti mereka menghancurkan hidupku,” katanya
ketika kami mengunjunginya di rumah sakit jiwa.
“Tapi bagaimana kau
menghentikan mereka teriak?” tanyaku.
“Obat tidur,” ia
menjawab pertanyaanku dengan senyuman. “hanya beberapa tetes dan mereka tidak
akan bangun sama sekali.”
Tommy tidak akan
keluar rumah sakit jiwa. Ia akan berada disana selama sisa hidupnya dan aku, satu-satunya
yang senang dengan itu. Akhir-akhir ini aku sangat sulit tidur. Setiap aku
mendengar pintu berderit pada malam hari, aku merinding dan untuk beberapa
saat, aku membayangkan Tommy telah pulang ke rumah.
Pesan moral dari
cerita ini (ya, ada pesan moralnya juga lho) adalah : Never push someone too
far, because sooner or later, one of you will have to fall.
Translated by : Sella
Chang
Source : scaryforkids.com
0 comments:
Post a Comment