CLICK HERE FOR FREE BLOGGER TEMPLATES, LINK BUTTONS AND MORE! »

Saturday, 3 August 2013

Losing Face





Sejak aku lahir, saudara kembarku Tommy adalah sahabatku. Kami tidak memiliki hidup yang mudah. Kakak perempuan kami bunuh diri beberapa tahun lalu dan kakak laki-laki kami sedang dalam kondisi yang parah yang disebut “Xeroderma pigmentosum” yang berarti ia alergi terhadap matahari. Ketika ia berusia 10 tahun, Tommy mengalami Alopecia dan kehilangan seluruh rambutnya. Semua orang di sekolah mengejeknya, tetapi ia tidak peduli. Itulah hebatnya Tommy. Ia selalu tersenyum.

Kemudian suatu hari, ketika kami 14 tahun, sesuatu yang buruk terjadi. Kami sedang dalam kelas seni kayu untuk membuat mainan anak-anak. Tommy mengantri untuk menggunakan alat penggiling kayu. Ia baru saja mengiling sebongkah kayu ketika seseorang mendorongnya dari belakang. Ia kehilangan keseimbangannya dan jatuh ke dalam penggiling kayu yang masih menyala. Terdengar suara gilingan dan teriakan kesakitan yang mengerikan. Semuanya memalingkan pandangan. Banyak dari mereka yang menutup matanya, tidak ingin melihat pemandangan mengerikan tersebut. Siapa yang menyalahkan mereka?

Wajah saudara kembarku hancur. Ada banyak darah. Ambulans datang dan ia dilarikan ke rumah sakit. Tommy bertahan hidup, tetapi wajahnya tidak seperti dulu. Ia tidak punya hidung dan mulut. Kelopak matanya juga hilang. Ibu kami bahkan tidak tahan melihatnya. Ayah kami menyuruhnya untuk memakai kantong kertas di kepalanya ketika ia di rumah.

Ejekan malah semakin parah. Anak-anak di sekolah lebih kejam dan tidak punya hati. Mereka menunjuknya, menertawakannya dan memanggilnya dengan nama mengerikan. Mereka tidak punya belas kasihan, tetapi ia masih tersenyum. Bagaimanapun aku tahu bahwa senyumnya hanya topeng. Di dalam hatinya, aku tahu ia menahan kepedihan.

Hampir satu tahun berlalu ketika serangan dimulai. Serangan itu masuk halaman depan koran dan kota kami diselimuti ketakutan. Seorang remaja laki-laki dimutilasi ketika ia tidur di ranjangnya. Lukanya sangat parah sehingga ia masuk ke ICU. Aku melihat foto yang diterbitkan di koran. Foto sebelumnya menunjukkan ia tersenyum melihat kamera dan menggunakan baju seragamnya. Foto sesudahnya membuatku mual. Hidungnya dipotong, satu matanya dicungkil, bibirnya dipotong dan senyum mengerikan terukir di wajahnya.

Aku mengenalnya dari fotonya. Dia adalah anak yang mendorong saudaraku ke penggiling kayu.

“Kau sudah melihat ini?” aku bertanya, menunjuk cerita di koran.

Tommy hanya mengangguk. “Ya,” ia berkata dengan mengangkat bahu. “Sebuah tragedi…”

Beberapa hari kemudian, koran melaporkan kejadian itu terulang kembali. Orang lain ditemukan dimutilasi di tempat tidurnya. Kali ini adalah seorang siswi di sekolah. Kulitnya dikelupas dari seluruh wajahnya. Ia kelihatan seperti bongkahan daging mentah dengan mata.

Hal itu terus terjadi lagi dan lagi. Setiap beberapa hari, anak yang kami kenal pasti di sserang dalam tidurnya dan dimutilasi. Beberapa anak matanya dicungkil, beberapa diukir senyuman sampai pipinya, beberapa  dari mereka hidungnya di potong dan yang lain diukir kata-kata yang jahat di keningnya. Polisi berkata satu-satunya hubungan dari mereka adalah seluruh korban berasal dari sekolah yang sama.

Jika mereka menanyakanku, aku mungkin bisa menunjukkan hubungan yang lain. Mereka semua adalah anak-anak yang membully saudaraku.

Ibuku ketakutan dengan apa yang ia baca di koran. Ia berkata bahwa ada maniak yang kabur dan meminta kami untuk berhati-hati. Tommy hanya melihatnya dengan pandangan jahat dan berkata, “Jangan khawatir. Kami akan baik-baik saja.”

Nada bicaranya berbeda, sepertinya ia tahu sesuatu yang kami tidak tahu.

Pada malam yang sama, aku sedang berbaring di tempat tidurku, aku bangun ketika mendengar suara pintu terbuka. Aku menyelinap dan melangkah pelan-pelan ke koridor. Di bawh tangga berdirilah Tommy. Ia masih memakai piyama, tetapi di tangan kanannya, ia sedang menggenggam pisau yang berlumuran darah.

“Kau habis dari mana?” tanyaku.

Ketika ia mendengar suaraku, ia melihat ke atas dengan kaget. Kemudian wajahnya berubah menjadi seringai lebar.

“Tidak kemana-mana,” jawabnya. “Aku hanya berjalan-jalan.”

Aku tidak mempercayainya seketika. Aku tahu apa yang ia lakukan. Aku berlari ke kamar orangtuaku, berteriak untuk membangunkan mereka.

“Tommy menyelinap keluar malam-malam!” teriakku. “Ia bawa pisau. Pisaunya berlumuran darah.”

Ayahku mendorongku dan turun. Ia mengambil pisau yang berlumuran darah dari tangan Tommy dan melemparnya ke seberang ruangan. Tommy memberontak dan ayahku harus bergulat dengannya. Ia berontak dan berteriak seperti sesuatu datang dari kubur. Ibuku kemudian menelpon polisi dan mereka menahan Tommy.

Polisi mengumpulkan barang bukti. Mereka menangani kasus berat Tommy, tetapi kemudian ketika ia di penjara, ia mengakui semuanya ke psikiater. Orangtuaku kecewa dan putus asa. Mereka tidak mengerti bagaimana anak mereka melalukan hal seperti itu. Akhirnya ketahuan bahwa Tommy menjadi tidak waras karena emosi dan perlakuan dari anak-anak yang mengejeknya. Ia masuk ke rumah mereka pada malam hari dan menghancurkan wajah mereka.

“Aku melakukannya supaya hidup mereka hancur, sama seperti mereka menghancurkan hidupku,” katanya ketika kami mengunjunginya di rumah sakit jiwa.

“Tapi bagaimana kau menghentikan mereka teriak?” tanyaku.
“Obat tidur,” ia menjawab pertanyaanku dengan senyuman. “hanya beberapa tetes dan mereka tidak akan bangun sama sekali.”

Tommy tidak akan keluar rumah sakit jiwa. Ia akan berada disana selama sisa hidupnya dan aku, satu-satunya yang senang dengan itu. Akhir-akhir ini aku sangat sulit tidur. Setiap aku mendengar pintu berderit pada malam hari, aku merinding dan untuk beberapa saat, aku membayangkan Tommy telah pulang ke rumah.

Pesan moral dari cerita ini (ya, ada pesan moralnya juga lho) adalah : Never push someone too far, because sooner or later, one of you will have to fall.

Translated by : Sella Chang
Source : scaryforkids.com

0 comments:

Post a Comment