Di lemari ibu, aku
mendengar jeritan.
Di lemari ibu, aku
tidak kesana.
Di lemari ibu? Tidak,
tidak tidak.
“Apa yang ada di
lemari?” aku bertanya dalam ketakutan.
Ibu tertawa kecil, “Tidak
ada, sayang!”
Aku akan menunggu
sampai malam,
Ketika aku menghadapi
ketakutan terbesarku.
Pikiran menakutkan
berputar di kepalaku.
Lemari ibu memenuhiku
dengan ketakutan.
Suatu malam yang gelap
aku memutuskan untuk pergi.
Apa yang ada di
lemari? Aku tidak tahu.
Jadi ketika malam
datang aku menyelinap
Ke kamar ibu dengan
seringai,
Mengendap melewati
kamar ibu dan ayah,
Dan pergi ke koridor
ke kesuraman.
Aku membuka pintu,
hanya bukaan kecil.
Angin dingin berhembus
dan mendorongku mundur.
Aku memutar kenop. Aku
tidak bisa berhenti sekarang!
Aku melangkah masuk,
dan berbisik, “Wow.”
Di lemari ibuku, ada
deritan.
Di lemari ibuku, ada
jeritan.
Aku melihat dan
memandang, disana ada jurang yang seram.
Mataku membesar dan
kakiku kaku.
Bayangan, kegelapan,
teriakan juga,
Aku selalu berpikir
bahwa hantu berkata, “Boo!”
Tetapi tidak, mereka
berteriak dalam kesakitan,
Hitam, dan lendir
lengket mulai berjatuhan seperti hujan.
Aku melintasi
jembatan, jembatan itu berderit dan tua.
Terdapat lautan api
yang berwarna merah dan emas.
Gerbang logam
membentuk “N” yang bersar,
Semua api itu membuat
mataku sakit.
Seorang gadis kecil
berkata, “Berikan jiwamu padaku!”
Ia mencakar di atas
jantungku, dan jatuh ke lubang.
Orang-orang dibelakang
gerbang memiliki mata merah menyala.
Semuanya merah, bahkan
langitnya.
Pria tua seram
mengintai ke dalam,
Bertanya padaku apakah
ia dapat mengambil kulitku.
“Tidak!” aku menangis
ketika melihat pisaunya.
“OK, kalau begitu aku
akan mengambil nyawamu!”
“Lepaskan aku!” aku
menggertak, “Sekarang!”
Gerbang terbuka, dan
untuk kembali, aku bersumpah.
Tetapi aku tidak
sempat, keramaian menelanku.
Mereka mengambilku
seperti remah-remah di cangkir.
Seorang wanita membangunkanku
dan membawanya ke rumahnya.
Dimana ia mengunciku
di rumah kaca besar.
“Berikan jiwamu padaku”,
katanya, “Atau berikan aku darahmu.”
“Tidak keduanya!”
kataku, dan tiba-tiba terjadi banjir.
Aku bangun lagi dan
mulai berteriak.
Pisau wanita tua itu,
pedang perak yang berpendar.
“Kau anak yang nakal,”
katanya dengan seringai.
Tiba-tiba aku
berteriak dan tanganku dikuliti.
Wanita tua itu mengunyahnya,
“Enak”, katanya.
“Rasanya enak jika
masih hidup tetapi lebih enak jika mati!”
Aku kabur secepatnya,
tetapi pria menyeramkan menangkapku.
“Matamu segar, berair
dan berdaging.
Ia menyeretku, aku
berteriak, “Tolong! Tolong!”
Tetapi tidak ada orang
yang datang, jadi aku mulai mendengking.
Ia mengikatku,
menyungkil mata kiriku.
Mengajakku makan
malam, sebuah sup mata!
“Ya,” katanya, “Kau
harus tinggal.”
“Aku tidak mau!” Aku
ingin pergi sendiri.
Jadi ia mendorongku
keluar, aku lemah dan terluka.
Sebuah keluarga
menangkapku. Mereka merobek kausku.
“Dagingmu terlihat
enak,” seorang gadis cantik mati berkata.
“Tidak!” kataku, “Aku
tidak mau mati!”
Tetapi mereka merobek
kulitku, di dadaku, oh menjijikan!
Mereka melumpuhkanku,
aku tidak punya keberuntungan.
Mereka menggeserku,
seorang wanita mengambil tulang kakiku.
Pria yang lain
mengambil pita suaraku.
Mereka membuat selimut
dari pembuluh darahku, baju dari rambutku.
Selama dua hari yang
sedih aku putus asa.
Di lemari ibu, aku
mendengar deritan.
Di lemari ibu, aku
mendengar jeritan.
Sekarang aku mati, aku
mengetahuinya dengan baik.
Lemari ibu adalah
pintu masuk neraka.
translated by : Sella Chang
source : scaryforkids.com
translated by : Sella Chang
source : scaryforkids.com
0 comments:
Post a Comment