ORIGINAL STORY
Tak disangka, ternyata Edith membalas cinta Simon, dan mereka pun berpacaran. Namun mereka tidak bisa secara leluasa menunjukkan kemesraan mereka di hadapan orang-orang. Ayah Edith, Mr. Luigi tidak menyukai putrinya berhubungan dengan Simon. Menurutnya Simon hanyalah pelayan rendahan yang tidak selevel dengan putrinya.
Mr. Luigi menentang habis-habisan hubungan Simon dan Edith. Mr. Luigi akhirnya berniat untuk menjodohkan Edith dengan kenalannya yang berasal dari keluarga terpandang.
Tentu saja Edith tidak terima dijodohkan dengan orang yang tidak dicintainya. Mr. Luigi marah besar dan menyuruh orang-orang bayarannya untuk memberi pelajaran pada Simon.
Simon yang tidak tahu menahu dipukuli habis-habisan oleh orang bayaran Mr. Luigi. Tidak hanya itu saja, ia pun dipecat dari pekerjaannya sebagai pencuci piring di restoran Mr. Luigi.
Simon yang sudah babak belur hanya duduk terdiam di pintu belakang restoran, bekas tempat kerjanya. Tak lama kemudian datanglah Edith dengan bercucuran air mata.
"Kau tidak apa-apa, sayang? Kau berdarah..." Katanya sambil menangis.
"Tentu saja aku apa-apa," balas Simon. " Tapi tenang saja, aku akan pulih dengan cepat."
"Maafkan aku atas perbuatan ayahku, Simon," kata Edith sambil terisak. "Ayah sudah keterlaluan semenjak ibu meninggal. Ia hanya tidak ingin kehilanganku, itu saja."
"Aku mengerti, edith," jawab Simon lirih. "Pulanglah, aku yakin ayahmu pasti mencemaskanmu."
"Tidak! Aku ingin bersamamu, membersihkan lukamu, merawatmu.... Aku takut ayahku akan melukaimu lagi." Katanya lagi.
"Aku menghargai niatmu, tapi sekarang bukanlah saat yg tepat. Aku akan berbicara dengan ayahmu empat mata. Aku akan meyakinkannya dan mengambil hatinya."
"Tapi...."
"Pulanglah. Tolong..." Kata Simon, nadanya memerintah, bukan memohon.
Akhirnya Edith terpaksa meninggalkan Simon sendirian. Ia tahu, Simon adalah seorang yang berpendirian teguh. Jika keputusannya sudah dibuat, tsunami atau gempa tidak akan mengubah keputusannya.
"Edith," panggil Simon lirih. "Tolonglah, beberapa hari ini jangan mencariku. Aku tidak ingin ayahmu marah lagi. Aku janji aku akan berbicara dengan ayahmu."
Edith mengangguk pelan, ia pun berjalan menjauhi Simon dan pulang ke rumahnya.
Sudah satu minggu Simon tidak memberi kabar padanya. Tidak menelpon atau sms. Satu kalipun. Edith cemas setengah mati. Simon tidak ada di apartemen sewaannya, atau ditempat kerjanya atau dimanapun. Ia bak hilang ditelan bumi.
Edith berpikir, mungkin ayahnya menyuruh orang untuk membunuhnya dan membuang mayatnya ke danau, atau dibuang ke jurang atau..... Edith menyingkirkan pikiran mengerikan itu. Edith yakin, walaupun ayahnya benci pada Simon, ia tidak mungkin membunuhnya.
Ayahnya pun tidak berbicara padanya sejak kemarin. Mungkin Mr. Luigi marah padanya. Mereka bertengkar tentang Simon semalam. Kebencian Mr. Luigi terhadap Simon tidak berkurang, bahkan bertambah karena anak perempuannya yang tadinya penurut menjadi pembangkang.
Edith berusaha membujuknya untuk sedikit demi sedikit menyukai Simon, tetapi ditolak mentah-mentah oleh Mr. Luigi. Edith berpikir, tidak mungkin Simon bisa mengambil hati ayahnya, ayahnya sangat keras kepala, sama seperti Simon. Edith sangat takut jika Simon dan ayahnya bertemu akan terjadi hal-hal yang buruk.
Malam itu terdengar ketukan di pintu rumah Edith. Simon berdiri di depan pintu rumahnya. Pakaiannya rapi, rambutnya disisir rapi, tubuhnya bersih dan berbau citrus, satu hal yang paling disukai Edith. Semuanya tampak sempurna kecuali satu titik di pipinya yang masih terlihat lebam.
"Kemana saja kau? Aku cemas mencarimu. Tidak ada kabar, tidak ada telpon atau sms! Maumu apa sih?" Tanya Edith, suaranya penuh emosi tapi juga ada rasa lega, mengetahui bahwa Simon baik-baik saja.
Edith langsung memeluknya. Pelukan yang sangat dirindukannya dari pria ini, tubuhnya hangat dan bau citrus. Bau yang paling dirindukannya satu minggu ini.
"Aku... Aku..." Kata Simon terbata-bata, "aku tidak bisa bernapas, Edith."
"Ah, maaf," jawabnya sambil tersipu malu. "Kemana saja kau?" Ulangnya lagi.
"Aku menginap dirumah keluargaku di Manhatan. Dia menawariku tumpangan, jadi..."
"Jadi begitu, pantas saja. Aku mencarimu di seluruh Virginia dan ternyata kau di Manhatan." Potongnya.
"Kau mencariku ke seluruh Virginia? Aku kan sudah bilang jangan mencariku dulu. Apakah ayahmu masih marah?"
"Iya, ia bahkan tidak mau berbicara padaku sejak kemarin." Jawab Edith pelan.
"Biarkan aku bicara dengannya, Edith."
"Jangan, Simon. Kau bisa dibunuhnya!"
"Percayalah padaku," kata Simon mantap.
"Baiklah, ayah ada di lantai 2. Naik tangga belok kanan, ikuti lorong. Ruang kerjanya ada di ujung lorong. Kau mau aku menemanimu?" Tanyanya sabar.
"Tidak usah, Edith. Biarlah aku dan ayahmu berbicara sebagai pria."
Edith menyadari bahwa ia merindukan Simon lebih daripada yang dipikirkannya. Suaranya, nada bicaranya...
Simon segera menuju ruangan Mr. Luigi. Ruangan itu tidak besar, tapi sangat rapi. Ada lemari berisi buku-buku sastra, bisnis, dan apa itu... Harry Potter? Apakah Mr. Luigi juga baca Harry Potter? Pikir Simon.
Mr Luigi duduk di kursi besar dibelakang meja. Tapi Mr. Luigi duduk membelakangi Simon. Kursi itu begitu besar, hingga hanya tangan Mr. Luigi saja yang terlihat sedang bersandar di kursi tersebut.
"Aaaaaaaaaaaaaa......!!!!!"
Terdengar suara orang berteriak dari ruang kerja Mr. Luigi. Edith yang sedang berada di dapur dan membuka kulkasnya segera berlari menuju ruangan ayahnya.
"Ada ap.... Astaga! Apa yang kau lakukan, Simon?!" Teriaknya ngeri.
Di depan mata Edith tersuguh pemandangan mengerikan. Ayahnya terduduk dikursinya yang biasa dengan mata terpejam dan bersimbah darah. Terdapat sayatan dari dada sampai perutnya. Ususnya terburai dan jantung ayahnya tergeletak begitu saja di meja. Di sebelah ayahnya, ada Simon. Simon dengan mata liar yang tidak pernah dilihat Edith. Tapi di tangannya.... Ditangannya terdapat pisau yang berlumuran darah. Di bajunya yang rapi, kini kotor karna percikan darah ayahnya.
Edith dan Simon diam dalam kesunyian yang mencekam. Keduanya hanya berpandangan.
Air muka Simon tidak bisa ditebak. Edith tidak tahu itu ekspresi sedih, marah atau takut.
"A...ku... Aku... Aku tidak tahu. Ia sudah begini saat aku melihatnya." Jawab Simon gugup. "Bukan aku yang membunuhnya!! Percayalah padaku, Edith."
"Tapi pisau itu.... Kau membelah tubuh ayahku, Simon!!!" Teriaknya ngeri.
Keheningan itu kembali lagi. Kemudian Edith melanjutkan kalimatnya,
"Sewaktu aku meninggalkannya, usus dan jantungnya tidak berantakan seperti itu."
"Aku yang melakukannya, Edith. Aku ingin mengambil hatinya!" Balas Simon dingin. "Tapi hatinya sudah hilang."
"Tentu saja, karena aku sudah mengambilnya terlebih dahulu kemarin malam. Aku takut kau tidak bisa mengambil hati ayahku dengan mudah. Ini, untukmu."
Di tangan Edith sekarang ada suatu benda berwarna merah kehitaman yang membeku. Hati ayahnya. Diberikan kepada Simon.
Dan mereka berdua berpandangan dan tersenyum penuh arti.
Note penulis :
'heart' disini sebenarnya bisa berarti jantung ataupun hati, karena maknanya sama dalam bahasa inggris. Tapi karena di indonesia 'heart' biasa diartikan hati, jadi ngikutin aja :)
0 comments:
Post a Comment